Praktik Penyembelihan Hewan Qurban
KATA
PENGANTAR
Puji syukur
penulis ucapkan kehadirat Allah Swt yang telah melimpahkan rahmat dan
karunian-Nya kepada penulis sehingga makalah ini dapat diselesaikan dengan
baik. Didalam makalah ini penulis membahas tentang penyembelihan kurban
Dalam
penyusunan makalah ini penulis menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan
baik dari segi isi maupun dalam penyajian materinya. Untuk itu penulis
mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun dari pembaca demi
perbaikan makalah ini.
Akhir kata,
semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Amin.
Bandung, 5 Oktober
2014
Penulis
DAFTAR ISI
Kata
Pengantar................................................................................................................ 1
Daftar Isi......................................................................................................................... 2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang........................................................................................................... 3
B. Rumusan
Masalah ...................................................................................................... 3
C. Tujuan ........................................................................................................................ 3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Penyembelihan........................................................................................................... 4
B. Pengulitan................................................................................................................. 14
C. Pencacagan
.............................................................................................................. 16
D. Pendistribusian
........................................................................................................ 17
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan ............................................................................................................. 19
B.
Lembar Pengesahan ................................................................................................. 20
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Ibadah
berqurban adalah antara amalan mulia dan penting dalam Islam karena amat besar
fadhilatnya, tetapi sayangnya masih banyak orang yang samar-samar atau kabur
kefahaman menerka mengenainya, sehingga ada yang memandang ringan sehingga
tidak melakukan qurban sesuai syariat Islam.
Begitulah
masalah berqurban yang akan coba kita jelaskan. Semoga dengan penjelasan yang
serba sedikit ini dapat membantu kefahaman kita semua tentang ibadah Qurban
serta kefahaman dalam proses penyembelihan hingga pendistribusian hewan qurban
ini. Dan semoga memberi kefahaman yang jelas hingga kita dapat menghayatinya
dengan penuh keimanan kerana menjunjung perintah Allah SWT dan mendapat
fadhilat daripada amalan yang akan kita lakukan ini.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana
proses penyembelihan hewan qurban?
2. Bagaimana proses pengulitan hewan qurban?
3. Bagaimana proses pencacagan daging dan tulang
hewan qurban?
4. Bagaimana pendistribusian hewan qurban?
C.
Tujuan
Memahami
praktik penyembelihan hewan qurban dalam syariat Islam dengan benar dan
memiliki kepedulian sosial dalam kehidupan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Penyembelihan
1.
Doa dan tata cara penyembelihan
hewan qurban
Beberapa
hukum dan adab seputar penyembelihan hewan, baik itu qurban ataupun yang lain.
I. Hewan sembelihan
dinyatakan sah dan halal dimakan bila terpenuhi syarat-syarat berikut:
a. Membaca basmalah
tatkala hendak menyembelih hewan. Dan ini merupakan syarat yang tidak bisa
gugur baik karena sengaja, lupa, ataupun jahil (tidak tahu). Bila dia sengaja
atau lupa atau tidak tahu sehingga tidak membaca basmalah ketika menyembelih,
maka dianggap tidak sah dan hewan tersebut haram dimakan. Ini adalah pendapat
yang rajih dari perbedaan pendapat yang ada. Dasarnya adalah keumuman firman
Allah l:
“Dan janganlah kamu
memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya.”
(Al-An’am: 121)
Syarat ini juga berlaku
pada penyembelihan hewan qurban. Dasarnya adalah hadits Anas z riwayat
Al-Bukhari (no. 5565) dan Muslim (no. 1966), bahwa Nabi n berqurban dengan dua
kambing kibasy yang berwarna putih bercampur hitam lagi bertanduk:
وَيُسَمِّي وَيُكَبِّرُ
“Beliau membaca
basmalah dan bertakbir.”
b. Yang menyembelih
adalah orang yang berakal. Adapun orang gila tidak sah sembelihannya walaupun
membaca basmalah, sebab tidak ada niat dan kehendak pada dirinya, dan dia
termasuk yang diangkat pena takdir darinya.
c. Yang menyembelih
harus muslim atau ahli kitab (Yahudi atau Nasrani). Untuk muslim,
permasalahannya sudah jelas. Adapun ahli kitab, dasarnya adalah firman Allah l:
“Makanan (sembelihan)
orang-orang yang diberi Al-Kitab itu halal bagimu.” (Al-Ma`idah: 5)
Dan yang dimaksud
‘makanan’ ahli kitab dalam ayat ini adalah sembelihan mereka, sebagaimana
penafsiran sebagian salaf.
Pendapat yang rajih menurut
mayoritas ulama, sembelihan ahli kitab dipersyaratkan harus sesuai dengan tata
cara Islam.
Sebagian ulama
menyatakan, terkhusus hewan qurban, tidak boleh disembelih oleh ahli kitab atau
diwakilkan kepada ahli kitab. Sebab qurban adalah amalan ibadah untuk taqarrub
kepada Allah l, maka tidak sah kecuali dilakukan oleh seorang muslim. Wallahu
a’lam.
d. Terpancarnya darah
Dan ini akan terwujud
dengan dua ketentuan:
1. Alatnya tajam,
terbuat dari besi atau batu tajam. Tidak boleh dari kuku, tulang, atau gigi.
Disyariatkan untuk mengasahnya terlebih dahulu sebelum menyembelih.
Diriwayatkan dari Rafi’ bin Khadij z, dari Nabi n, beliau bersabda:
مَا أَنْهَرَ الدَّمَ وَذُكِرَ
اسْمُ اللهِ عَلَيْهِ فَكُلْ، لَيْسَ السِّنَّ وَالظُّفْرَ، أَمَّا السِّنُّ فَعَظْمٌ
وَأَمَّا الظُّفْرُ فَمُدَى الْحَبَشَةِ
“Segala sesuatu yang
memancarkan darah dan disebut nama Allah padanya maka makanlah. Tidak boleh
dari gigi dan kuku. Adapun gigi, itu adalah tulang. Adapun kuku adalah pisau
(alat menyembelih) orang Habasyah.” (HR. Al-Bukhari no. 5498 dan Muslim no.
1968)
Juga perintah
Rasulullah n kepada Aisyah x ketika hendak menyembelih hewan qurban:
يَا عَائِشَةُ، هَلُمِّي
الْمُدْيَةَ. ثُمَّ قَالَ: اشْحَذِيهَا بِحَجَرٍ
“Wahai Aisyah,
ambilkanlah alat sembelih.” Kemudian beliau berkata lagi: “Asahlah alat itu
dengan batu.” (HR. Muslim no. 1967)
2. Dengan
memutus al-wadjan, yaitu dua urat tebal yang meliputi tenggorokan. Inilah
persyaratan dan batas minimal yang harus disembelih menurut pendapat yang
rajih. Sebab, dengan terputusnya kedua urat tersebut, darah akan terpancar
deras dan mempercepat kematian hewan tersebut.
II. Merebahkan hewan
tersebut dan meletakkan kaki pada rusuk lehernya, agar hewan tersebut tidak
meronta hebat dan juga lebih menenangkannya, serta mempermudah penyembelihan.
Diriwayatkan dari Anas
bin Malik z, tentang tata cara penyembelihan yang dicontohkan Rasulullah n:
وَيَضَعُ رِجْلَهُ عَلىَ
صِفَاحِهِمَا
“Dan beliau meletakkan
kakinya pada rusuk kedua kambing tersebut.” (HR. Al-Bukhari no. 5565 dan Muslim
no. 1966)
Juga hadits Aisyah x:
فَأَضْجَعَهُ ثُمَّ ذَبَحَهُ
“Lalu beliau rebahkan
kambing tersebut kemudian menyembelihnya.”
III. Disunnahkan
bertakbir ketika hendak menyembelih qurban, sebagaimana disebutkan dalam hadits
Anas z di atas, dan diucapkan setelah basmalah.
IV. Tidak disyaratkan
menghadapkan hewan ke kiblat, sebab haditsnya mengandung kelemahan.
Dalam sanadnya ada
perawi yang bernama Abu ‘Ayyasy Al-Mu’afiri, dia majhul. Haditsnya diriwayatkan
oleh Abu Dawud (no. 2795) dan Ibnu Majah (no. 3121).
Hukum-hukum Seputar
Qurban
Berikut ini akan
disebutkan beberapa hukum secara umum yang terkait dengan hewan qurban, untuk
melengkapi pembahasan sebelumnya:
1) Menurut pendapat
yang rajih, hewan qurban dinyatakan resmi (ta’yin) sebagai أُضْحِيَّةٌ dengan
dua hal:
a. dengan ucapan: هَذِهِ
أُضْحِيَّةٌ (Hewan ini adalah hewan qurban)
b. dengan tindakan, dan
ini dengan dua cara:
1. Taqlid yaitu
diikatnya sandal/sepatu hewan, potongan-potongan qirbah (tempat air yang
menggantung), pakaian lusuh dan yang semisalnya pada leher hewan. Ini berlaku
untuk unta, sapi dan kambing.
2. Isy’ar yaitu
disobeknya punuk unta/sapi sehingga darahnya mengalir pada rambutnya. Ini hanya
berlaku untuk unta dan sapi saja.
Diriwayatkan dari
‘Aisyah x, dia berkata:
فَتَلْتُ قَلَائِدَ بُدْنِ
رَسُولِ اللهِ n بِيَدَيَّ ثُمَّ أَشْعَرَهَا وَقَلَّدَهَا
“Aku memintal
ikatan-ikatan unta-unta Rasulullah dengan kedua tanganku. Lalu beliau isy’ar
dan men-taqlid-nya.” (HR. Al-Bukhari no. 1699 dan Muslim no. 1321/362)
Kedua tindakan ini
khusus pada hewan hadyu, sedangkan qurban cukup dengan ucapan. Adapun
semata-mata membelinya atau hanya meniatkan tanpa adanya lafadz, maka belum
dinyatakan (ta’yin) sebagai hewan qurban. Berikut ini akan disebutkan beberapa
hukum bila hewan tersebut telah di-ta’yin sebagai hewan qurban:
2) Diperbolehkan
menunggangi hewan tersebut bila diperlukan atau tanpa keperluan, selama tidak
memudaratkannya.
Diriwayatkan dari Abu
Hurairah z, dia berkata: Rasulullah n melihat seseorang menuntun unta
(qurban/hadyu) maka beliau bersabda:
ارْكَبْهَا
“Tunggangi unta itu.”
(HR. Al-Bukhari no. 1689 dan Muslim no. 1322/3717)
Juga datang dari Anas
bin Malik z (Al-Bukhari no. 1690 dan Muslim no. 1323) dan Jabir bin Abdillah c
(HR. Muslim no. 1324). Lafadz hadits Jabir z sebagai berikut:
ارْكَبْهَا بِالْـمَعْرُوفِ
إِذَا أُلْـجِئْتَ إِلَيْهَا حَتَّى تَجِدَ ظَهْرًا
“Naikilah unta itu
dengan cara yang baik bila engkau membutuhkannya hingga engkau mendapatkan
tunggangan (lain).”
3) Diperbolehkan
mengambil kemanfaatan dari hewan tersebut sebelum/setelah disembelih selain
menungganginya, seperti:
a. mencukur bulu hewan
tersebut, bila hal tersebut lebih bermanfaat bagi sang hewan. Misal: bulunya
terlalu tebal atau di badannya ada luka.
b. Meminum susunya,
dengan ketentuan tidak memudaratkan hewan tersebut dan susu itu kelebihan dari
kebutuhan anak sang hewan.
c. Memanfaatkan segala
sesuatu yang ada di badan sang hewan, seperti tali kekang dan pelana.
d. Memanfaatkan
kulitnya untuk alas duduk atau alas shalat setelah disamak.
Dan berbagai sisi
kemanfaatan yang lainnya. Dasarnya adalah keumuman firman Allah l:
“Dan telah Kami jadikan
untuk kamu unta-unta itu sebagian dari syi’ar Allah, kamu memperoleh kebaikan
yang banyak padanya.” (Al-Hajj: 36)
4) Tidak diperbolehkan
menjual hewan tersebut atau menghibahkannya kecuali bila ingin menggantinya
dengan hewan yang lebih baik. Begitu pula tidak boleh menyedekahkannya kecuali
setelah disembelih pada waktunya, lalu menyedekahkan dagingnya.
5) Tidak diperbolehkan
menjual kulit hewan tersebut atau apapun yang ada padanya, namun untuk
dishadaqahkan atau dimanfaatkan.
6) Tidak diperbolehkan
memberikan upah dari hewan tersebut apapun bentuknya kepada tukang sembelih.
Namun bila diberi dalam bentuk uang atau sebagian dari hewan tersebut sebagai
shadaqah atau hadiah bukan sebagai upah, maka diperbolehkan.
Dalil dari beberapa
perkara di atas adalah hadits Ali bin Abi Tahlib z, dia berkata:
أَمَرَنِي رَسُولُ اللهِ
n أَنْ أَقُومَ عَلَى بُدْنِهِ وَأَنْ أُقَسِّمَ لُـحُومَهَا وَجُلُودَهَا وَجِلَالـَهَا
عَلَى الْـمَسَاكِينِ وَلَا أُعْطِي فِي جَزَارَتِهَا شَيْئًا مِنْهَا
“Nabi memerintahkan aku
untuk menangani (penyembelihan) unta-untanya, membagikan dagingnya, kulit, dan
perangkatnya kepada orang-orang miskin dan tidak memberikan sesuatu pun darinya
sebagai (upah) penyembelihannya.” (HR. Al-Bukhari no. 1717 dan 1317)
7) Bila terjadi cacat
pada hewan tersebut setelah di-ta’yin (diresmikan sebagai hewan qurban) maka
dirinci:
- Bila cacatnya membuat
hewan tersebut tidak sah, maka disembelih sebagai shadaqah bukan sebagai qurban
yang syar’i.
- Bila cacatnya ringan
maka tidak ada masalah.
- Bila cacatnya terjadi
akibat (perbuatan) sang pemilik maka dia harus mengganti yang semisal atau yang
lebih baik
- Bila cacatnya bukan
karena kesalahan sang pemilik, maka tidak ada kewajiban mengganti, sebab hukum
asal berqurban adalah sunnah.
8) Bila hewan tersebut
hilang atau lari dan tidak ditemukan, atau dicuri, maka tidak ada kewajiban
apa-apa atas sang pemilik. Kecuali bila hal itu terjadi karena kesalahannya
maka dia harus menggantinya.
9) Bila hewan yang lari
atau yang hilang tersebut ditemukan, padahal sang pemilik sudah membeli
gantinya dan menyembelihnya, maka cukup bagi dia hewan ganti tersebut sebagi
qurban. Sedangkan hewan yang ketemu tersebut tidak boleh dijual namun
disembelih, sebab hewan tersebut telah di-ta’yin.
10) Bila hewan tersebut
mengandung janin, maka cukup bagi dia menyembelih ibunya untuk menghalalkannya
dan janinnya. Namun bila hewan tersebut telah melahirkan sebelum disembelih,
maka dia sembelih ibu dan janinnya sebagai qurban. Dalilnya adalah hadits:
ذَكَاةُ الْجَنِينِ ذَكَاةُ
أُمِّهِ
“Sembelihan janin
(cukup) dengan sembelihan ibunya.”
Hadits ini datang dari
banyak sahabat, lihat perinciannya dalam Irwa`ul Ghalil (8/172, no. 2539) dan
Asy-Syaikh Al-Albani t menshahihkannya.
11) Adapun bila hewan
tersebut belum di-ta’yin maka diperbolehkan baginya untuk menjualnya,
menghibahkannya, menyedekahkannya, atau menyembelihnya untuk diambil daging dan
lainnya, layaknya hewan biasa.
Wallahu a’lam
bish-shawab.
Adapun tata cara penembelihannya adalah :
1. Hendaknya yang menyembelih
adalah shohibul kurban sendiri, jika dia mampu. Jika tidak maka bisa
diwakilkan orang lain, dan shohibul kurban disyariatkan untuk ikut
menyaksikan.
2. Gunakan pisau yang setajam
mungkin. Semakin tajam, semakin baik. Ini berdasarkan hadis dari Syaddad bin
Aus radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ الإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ
فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا الْقِتْلَةَ وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا
الذَّبْح وَ ليُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ فَلْيُرِحْ ذَبِيحَتَهُ
“Sesungguhnya Allah mewajibkan berbuat ihsan dalam
segala hal. Jika kalian membunuh maka bunuhlah dengan ihsan, jika kalian
menyembelih, sembelihlah dengan ihsan. Hendaknya kalian mempertajam pisaunya
dan menyenangkan sembelihannya.” (HR. Muslim).
3. Tidak mengasah pisau dihadapan
hewan yang akan disembelih. Karena ini akan menyebabkan dia ketakutan sebelum
disembelih. Berdasarkan hadis dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma,
أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ بِحَدِّ الشِّفَارِ ، وَأَنْ تُوَارَى عَنِ الْبَهَائِمِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
memerintahkan untuk mengasah pisau, tanpa memperlihatkannya kepada hewan.” (HR.
Ahmad, Ibnu Majah ).
Dalam riwayat yang lain, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah melewati seseorang yang meletakkan kakinya di
leher kambing, kemudian dia menajamkan pisaunya, sementar binatang itu
melihatnya. Lalu beliau bersabda (artinya): “Mengapa engkau tidak menajamkannya
sebelum ini ?! Apakah engkau ingin mematikannya sebanyak dua kali?!.” (HR.
Ath-Thabrani dengan sanad sahih).
4. Menghadapkan hewan ke arah kiblat.
Disebutkan dalam Mausu’ah Fiqhiyah:
Hewan yang hendak disembelih dihadapkan ke kiblat pada
posisi tempat organ yang akan disembelih (lehernya) bukan wajahnya. Karena
itulah arah untuk mendekatkan diri kepada Allah. (Mausu’ah Fiqhiyah
Kuwaitiyah, 21:196).
Dengan demikian, cara yang tepat untuk menghadapkan hewan ke arah kiblat ketika
menyembelih adalah dengan memosisikan kepala di Selatan, kaki di Barat, dan
leher menghadap ke Barat.
5. Membaringkan hewan di atas lambung
sebelah kiri.
Imam An-Nawawi mengatakan, Terdapat beberapa hadis
tentang membaringkan hewan (tidak disembelih dengan berdiri, pen.) dan
kaum muslimin juga sepakat dengan hal ini. Para ulama sepakat, bahwa cara
membaringkan hewan yang benar adalah ke arah kiri. Karena ini akan memudahkan
penyembelih untuk memotong hewan dengan tangan kanan dan memegangi leher dengan
tangan kiri. (Mausu’ah Fiqhiyah Kuwaitiyah, 21:197).
Penjelasan yang sama juga disampaikan Syekh Ibnu
Utsaimin. Beliau mengatakan, “Hewan yang hendak disembelih dibaringkan ke
sebelah kiri, sehingga memudahkan bagi orang yang menyembelih. Karena
penyembelih akan memotong hewan dengan tangan kanan, sehingga hewannya
dibaringkan di lambung sebelah kiri. (Syarhul Mumthi’, 7:442).
6. Menginjakkan kaki di leher hewan.
Sebagaimana disebutkan dalam hadis dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu,
beliau mengatakan,
ضحى رسول الله صلّى الله عليه وسلّم بكبشين أملحين،
فرأيته واضعاً قدمه على صفاحهما يسمي ويكبر
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
berkurban dengan dua ekor domba. Aku lihat beliau meletakkan meletakkan kaki
beliau di leher hewan tersebut, kemudian membaca basmalah …. (HR. Bukhari dan
Muslim).
7. Bacaan ketika hendak menyembelih.
Beberapa saat sebelum menyembelih, harus membaca basmalah.
Ini hukumnya wajib, menurut pendapat yang kuat. Allah berfirman,
وَ لاَ تَأْكُلُواْ مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ الله
عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ..
Janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak
disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam
itu adalah suatu kefasikan. (QS. Al-An’am: 121).
8. Dianjurkan untuk membaca takbir
(Allahu akbar) setelah membaca basmalah
Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam pernah menyembelih dua ekor domba bertanduk,…beliau sembelih
dengan tangannya, dan baca basmalah serta bertakbir…. (HR. Al Bukhari dan
Muslim).
9. Pada saat menyembelih dianjurkan
menyebut nama orang yang jadi tujuan dikurbankannya herwan tersebut.
Dari Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhuma,
bahwa suatu ketika didatangkan seekor domba. Kemudian Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam menyembelih dengan tangan beliau. Ketika menyembelih
beliau mengucapkan, ‘bismillah wallaahu akbar, ini kurban atas namaku dan atas
nama orang yang tidak berkurban dari umatku.’” (HR. Abu Daud, At-Turmudzi dan
disahihkan Al-Albani).
Setelah membaca bismillah Allahu akbar, dibolehkan
juga apabila disertai dengan bacaan berikut:
hadza minka wa laka.” (HR. Abu
Dawud, no. 2795) Atau hadza minka wa laka ’anni atau ’an fulan
(disebutkan nama shohibul kurban). Jika yang menyembelih bukan shohibul
kurban atau
Berdoa agar Allah menerima kurbannya dengan doa, ”Allahumma
taqabbal minni atau min fulan (disebutkan nama shohibul
kurban).” [1]
Catatan: Bacaan takbir dan menyebut nama sohibul
kurban hukumnya sunnah, tidak wajib. Sehingga kurban tetap sah meskipun ketika
menyembelih tidak membaca takbir dan menyebut nama sohibul kurban.
10. Disembelih dengan cepat untuk
meringankan apa yang dialami hewan kurban.
Sebagaimana hadis dari Syaddad bin Aus di atas.
11. Pastikan bahwa bagian tenggorokan,
kerongkongan, dua urat leher (kanan-kiri) telah pasti terpotong. Syekh Abdul
Aziz bin Baz menyebutkan bahwa penyembelihan yang sesuai syariat itu ada tiga
keadaan (dinukil dari Salatul Idain karya Syekh Sa’id Al-Qohthoni):
1.
Terputusnya tenggorokan,
kerongkongan, dan dua urat leher. Ini adalah keadaan yang terbaik. Jika
terputus empat hal ini maka sembelihannya halal menurut semua ulama.
2.
Terputusnya tenggorokan, kerongkongan,
dan salah satu urat leher. Sembelihannya benar, halal, dan boleh dimakan,
meskipun keadaan ini derajatnya di bawah kondisi yang pertama.
3.
Terputusnya tenggorokan dan
kerongkongan saja, tanpa dua urat leher. Status sembelihannya sah dan halal,
menurut sebagian ulama, dan merupakan pendapat yang lebih kuat dalam masalah
ini. Dalilnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
ما أنهر الدم وذكر اسم الله عليه فكل، ليس السن والظفر
“Selama mengalirkan darah dan telah disebut nama Allah
maka makanlah. Asal tidak menggunakan gigi dan kuku.” (HR. Al
Bukhari dan Muslim).
12. Sebagian ulama menganjurkan agar
membiarkan kaki kanan bergerak, sehingga hewan lebih cepat meregang nyawa. Imam
An-Nawawi mengatakan, “Dianjurkan untuk membaringkan sapi dan kambing ke arah
kiri. Demikian keterangan dari Al-Baghawi dan ulama Madzhab Syafi’i. Mereka
mengatakan, “Kaki kanannya dibiarkan…(Al-Majmu’ Syarh Muhadzab, 8:408)
13. Tidak boleh mematahkan leher
sebelum hewan benar-benar mati.
Para ulama menegaskan, perbuatan semacam ini hukumnya dibenci. Karena akan
semakin menambah rasa sakit hewan kurban. Demikian pula menguliti binatang,
memasukkannya ke dalam air panas dan semacamnya. Semua ini tidak boleh
dilakukan kecuali setelah dipastikan hewan itu benar-benar telah mati.
Dinyatakan dalam Fatawa Syabakah Islamiyah,
“Para ulama menegaskan makruhnya memutus kepala ketika menyembalih dengan
sengaja. Khalil bin Ishaq dalam Mukhtashar-nya untuk Fiqih Maliki,
ketika menyebutkan hal-hal yang dimakruhkan pada saat menyembelih, beliau mengatakan,
وتعمد إبانة رأس
“Diantara yang makruh adalah secara sengaja memutus
kepala” (Fatawa Syabakah Islamiyah, no. 93893). Pendapat yang kuat bahwa
hewan yang putus kepalanya ketika disembelih hukumnya halal. Imam Al-Mawardi
–salah satu ulama Madzhab Syafi’i– mengatakan, “Diriwayatkan dari Imran bin
Husain radhiallahu ‘anhu, bahwa beliau ditanya tentang menyembelih
burung sampai putus lehernya? Sahabat Imran menjawab, ‘boleh dimakan.” Imam
Syafi’i mengatakan,
فإذا ذبحها فقطع رأسها فهي ذكية
“Jika ada orang menyembelih, kemudian memutus
kepalanya maka statusnya sembelihannya yang sah” (Al-Hawi Al-Kabir,
15:224).
3.
Perbedaan penyembelihan hewan saat
hari raya Idul Adha dan penyembelihan hewan untuk aqidah dan nadzar
Perbedaannya, ibadah
qurban hanya boleh dilakukan pada hari tertentu saja, yaitu tanggal 10, 11, 12
dan 13 Dzulhijjah. Dimulai sejak selesainya shalat ‘Idul Adha. Sedangkan aqiqah
dilakukan lantaran adanya kelahiran bayi, yang dilakukan penyembelihannya pada
hari ketujuh menurut riwayat yang kuat. Sebagian ulama membolehkannya pada hari
ke 14, bahkan pendapat yang lebih luas, membolehkan kapan saja. Dan nadzar
dilakukan ketika nadzar tersebut telah terpenuhi.
4.
Jenis hewan qurban yang diamati
Jenis hewan yang diamati penulis dalam pembuatan
makalah ini adalah seekor sapi.
5.
Cara merebahkan hewan qurban
Beri waktu untuk beradaptasi.
Sebaiknya sapi diinapkan selama semalam atau 12 jam di lokasi sekitar
penyembelihan. Selain memberi kesempatan beristirahat sehingga
otot-otonyamengalami relaksasi, juga dimaksudkna agar sapi dapat menyesuaikan
diri dengan lingkungan barunya.
Gunakan tali berwarna gelap, untuk
menjatuhkannya. Seperti warna hitam atau biru. Jangan sekalipun menggunakan
tali berwarna terang seperti merah atau orange, sebab sapi akan semakin
beringas melihat warna-warna terang.
Teknik Merebahkan 1. Setelah
ditambatkan di batang pohon atau patok yang kokoh, tali yang telah disediakan
diikatkan pada tali yang melingkar di leher. Kemudian ditarik hingga ke
belakang punuk atau bagian belakang kaki depan. Tali dilingkarkan ke tubuh,
disimpul di bagian samping kiri punggung. Ditarik ke belakang lagi hingga batas
depan kaki bagian belakang, dilingkarkan ke tubuh, kemudian disimpul di bagian
samping kiri punggung belakang. Dengan teknik model ini, hanya dibutuhkan satu
orang saja untuk merebahkannya, dengan cara menarik tali dari belakang tubuh
saja.
Teknik Merebahkan 2. Model kedua
adalah dengan melingkarkan tali di bagian depan punuk, menyilang ke bawah hingga
di depan kedua kaki sapi. Tali ditarik ke bagianpunggung secara menyilang lagi,
kemudian ditarik ke belakangmelalui selangkangan kaki belakang sapi. Model ini
terkadang berisiko membuatkaki sapi menyepak ke belakang ketika ditarik melalui
selangkangannya.
6.
Dokumentasi
B.
Pengulitan
1.
Tahap-tahap pengulitan
Pengulitan dimulai
setelah dilakukan pemotongan kepala dan ke empat bagian kaki bawah. Pengulitan
bisa dilakukan di lantai, digantung dan menggunakan mesin.Pengulitan diawali
dengan membuat irisan panjang pada kulit sepanjang garis tengah dada dan bagian
perut. Irisan dilanjutkan sepanjang permukaan dalam kaki, dan kulit dipisahkan
mulai dari ventral ke arah punggung tubuh dan diakhiri dengan pemotongan ekor.
Proses ini dilakukan dengan cara
menggantung hewan pada kedua kaki belakangnya dengan posisi terbuka. Petugas
menghadap bagian dada-perut hewan (ventral). Sayatan dimulai dari
sepanjang garis tengah perut-dada dan garis tengah keempat kaki bagian dalam.
Untuk hewan besar (sapi & kerbau) proses pengulitan dapat dilakukan dengan
cara ditidurkan diatas alas bersih, apabila tidak memungkinkan menggantungnya.
Jika demikian waspada dengan kotoran dari tanah dan alas kaki petugas yang
berpotensi mencemari karkas.
Sebelumnya potong terlebih dahulu
kepala dan keempat kaki sebatas persendian tumit. Ini dilakukan untuk
menghindari jatuhnya kotoran yang akan mencemari daging.
2.
Cara mengeluarkan “Kadut” bagian
perut, hati dan limpa
Rongga dada dibuka
dengan gergaji melalui ventral tengah tulang dada.
Rongga abdominal dibuka
dengan membuat sayatan sepanjang ventral tengah abdominal.
Memisahkan penis atau
jaringan ambing dan lemak abdominal.
Belah bonggol pelvic
dan pisahkan kedua tulang pelvic.
Buat irisan sekitar
anus dan tutup dengan kantung plastik.
Pisahkan eshophagus
dari trakhea.
Keluarkan kandung
kencing dan uterus jika ada.
Keluarkan organ perut yang terdiri dari
intestinum, mesenterium, rumen dan bagian lain dari lambung serta hati dan
empedu.
Diafragma dibuka dan
keluarkan organ dada (pluck) yang terdiri dari jantung, paru-paru dan trakhea.
Organ ginjal tetap ditinggal di dalam badan dan menjadi bagian dari karkas.
Eviserasi dilanjutkan dengan pemeriksaan organ dada, organ perut dan karkas untuk
mengetahui apakah karkas diterima atau ditolak untuk dikonsumsi manusia.
3.
Pembagian kulit hewan
hadits Abu Sa’id, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
وَلاَ تَبِيعُوا لُحُومَ
الْهَدْىِ وَالأَضَاحِىِّ فَكُلُوا وَتَصَدَّقُوا وَاسْتَمْتِعُوا بِجُلُودِهَا وَلاَ
تَبِيعُوهَا
“Janganlah menjual
hewan hasil sembelihan hadyu dan sembelian udh-hiyah (qurban).Tetapi makanlah,
bershodaqohlah, dan gunakanlah kulitnya untuk bersenang-senang, namun jangan
kamu menjualnya.” Hadits ini adalah hadits yang dho’if (lemah).
Dari Abu Hurairah, Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
مَنْ بَاعَ
جِلْدَ أُضْحِيَّتِهِ فَلاَ أُضْحِيَّةَ لَهُ
“Barangsiapa menjual kulit hasil
sembelihan qurban, maka tidak ada qurban baginya.” Maksudnya, ibadah
qurbannya tidak ada nilainya.
Dalil dari hal ini
adalah riwayat yang disebutkan oleh ‘Ali bin Abi Tholib,
أَمَرَنِى
رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ أَقُومَ عَلَى بُدْنِهِ وَأَنْ
أَتَصَدَّقَ بِلَحْمِهَا وَجُلُودِهَا وَأَجِلَّتِهَا وَأَنْ لاَ أُعْطِىَ
الْجَزَّارَ مِنْهَا قَالَ « نَحْنُ نُعْطِيهِ مِنْ عِنْدِنَا ».
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam memerintahkanku untuk mengurusi unta-unta qurban beliau. Aku
mensedekahkan daging, kulit, dan jilalnya (kulit yang ditaruh pada punggung
unta untuk melindungi dari dingin). Aku tidak memberi sesuatu pun dari
hasil sembelihan qurban kepada tukang jagal. Beliau bersabda, “Kami akan
memberi upah kepada tukang jagal dari uang kami sendiri”.”
Dari hadits ini, An
Nawawi rahimahullah mengatakan, “Tidak boleh memberi tukang jagal
sebagian hasil sembelihan qurban sebagai upah baginya. Inilah pendapat
ulama-ulama Syafi’iyah, juga menjadi pendapat Atho’, An Nakho’i, Imam Malik,
Imam Ahmad dan Ishaq.”
Namun sebagian ulama
ada yang membolehkan memberikan upah kepada tukang jagal dengan kulit semacam
Al Hasan Al Bashri. Beliau mengatakan, “Boleh memberi jagal upah dengan
kulit.” An Nawawi lantas menyanggah pernyataan tersebut, “Perkataan
beliau ini telah membuang sunnah.”
Sehingga yang tepat,
upah jagal bukan diambil dari hasil sembelihan qurban. Namun shohibul
qurban hendaknya menyediakan upah khusus dari kantongnya sendiri untuk
tukang jagal tersebut.
4.
Dokumentasi
C.
Pencacagan
1.
Karkas
Karkas adalah bagian
tubuh hewan yang telah dipotong setelah dikuliti, dikurangi kepala, kaki dan
jerohan.
2.
Cara memotong daging dari tulang
Lakukan pemisahan daging dengan
tulang dalam keadaan karkas tergantung. Untuk karkas hewan besar (sapi &
kerbau) apabila tidak memungkinkan digantung dapat dilakukan dibawah dengan
meletakkannya diatas alas yang bersih. Hati-hati jangan sampai ada kotoran dari
tanah, kaki atau alat lainnya mencemari karkas.
Potongan daging dapat diletakkan
dalam wadah yang bersih atau dilantai dengan melapisi alas plastik yang bersih.
Selanjutnya daging dipotong kecil-kecil untuk dibagi.
Petugas yang terlibat dalam proses
pemotongan hewan kurban disarankan untuk tidak makan dan merokok saat bekerja
memproses daging. Lebih baik lagi jika petugas mengenakan masker penutup mulut
dan hidung serta sarung tangan plastik. Sebelum memulai bertugas hendaknya
petugas membersihkan diri (mandi) dan mengenakan pakaian bersih.
3.
Dokumentasi
D.
Pendistribusian
1.
Bagian yang diambil pequrban
Orang yang berqurban
boleh makan sebagian daging qurban, sebagaimana firman Allah SWT:
“Dan telah Kami jadikan
untuk kamu unta-unta itu sebahagian dari syi`ar Allah, kamu memperoleh kebaikan
yang banyak padanya, maka sebutlah olehmu nama Allah ketika kamu menyembelihnya
dalam keadaan berdiri (dan telah terikat). Kemudian apabila telah roboh (mati),
maka makanlah sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang
ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta. Demikianlah Kami
telah menundukkan unta-unta itu kepada kamu, mudah-mudahan kamu bersyukur” (QS
Al-Hajj 36).
Hadits Rasulullah SAW:
“Jika di antara kalian
berqurban, maka makanlah sebagian qurbannya” (HR Ahmad).
Bahkan dalam hal
pembagian disunnahkan dibagi tiga. Sepertiga untuk dimakan dirinya dan
keluarganya, sepertiga untuk tetangga dan teman, sepertiga yang lainnya untuk
fakir miskin dan orang yang minta-minta. Disebutkan dalam hadits dari Ibnu
Abbas menerangkan qurban Rasulullah SAW bersabda:
“Sepertiga untuk
memberi makan keluarganya, sepertiga untuk para tetangga yang fakir miskin dan
sepertiga untuk disedekahkan kepada yang meminta-minta” (HR Abu Musa
Al-Asfahani).
Tetapi orang yang
berkurban karena nadzar, maka menurut mazhab Hanafi dan Syafi’i, orang tersebut
tidak boleh makan daging qurban sedikitpun dan tidak boleh
memanfaatkannya.
2.
Cara pendistribusian
Pendistribusian daging qurban
didaerah penulis adalah dengan mengantarkannya ke masimg-masing rumah warga
3.
Dokumentasi
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Penyembelihan
hewan qurban memiliki tata cara dan tahapan-tahapan tersendiri sesuai dengan
syariat islam. Penyembelihan hewan qurban ini juga dilakukan untuk kepentingan
sosial dan kebersamaan dengan membagikannya kepada orang-orang yang
membutuhkan. Dan ada beberapa larangan dan ketentuan yang harus diperhatikan
dalam proses penyembelihan, pengulitan, pencacagan maupun pendistribusiaannya.
B. Lembar
Pengesahan
Penulis,
Mengetahui,